Senin, 16 Mei 2011

Cerpen "Pengorbanan Sang Kakak"

Sebut saja Ila, terlahir 19 tahun yang lalu di sebuah desa terpencil. Ayahnya adalah petani yang hanya punya 2 petak sawah. Ibunya sering bekerja paruh waktu menjahit baju pesanan orang di kampung. Adiknya hanya seorang, Andi namanya. Mereka berbeda umur 3 tahun. Sekarang adiknya bekerja sebagai buruh bangunan.
Di suatu sore, 4 tahun yang lalu, ketika Ila lulus dari SMP dan sangat ingin melanjutkan sekolah ke kota. Namun ia tahu, biaya untuk melanjutkan sekolah bukanlah biaya sedikit. Dan ia juga sadar kalau penghasilan orang tuanya tidak akan mampu untuk membiayai sekolahnya. Apalagi adiknya juga baru lulus SD dan akan melanjutkan ke SMP.
“Ila, duduk di sini dulu nak, ada yang Etta ingin ceritakan padamu” panggil Ayahnya.
“Ada apa Etta?” Jawab Ila.
“Kapan pendaftaran untuk SMA berakhir Nak?”
“oh iya Etta, Kata teman yang barusan pulang dari kota, 5 hari kedepan sudah ditutup.”
“Nak, kau tahu kan kalau uang kami punya tidak cukup untuk mengirimmu ke kota, apalagi adikmu juga akan masuk SMP?”
“Ia Etta, tidak apa-apa, saya tidak bersekolah dulu setahun” Sahut Ila dengan perasaan sedih.
Tiba-tiba Andi datang dan menimpali.
“Etta, saya tidak mau melanjutkan sekolah, otak saya tidak sepintar kakak, biarlah saya bekerja dan membantu Etta mencari uang.”
Dengan mata berkaca-kaca, ayahnya hanya bisa berkata:
“Terserah nak, yang jelas Etta akan berusaha untuk menyekolahkan kalian semua”
Mendengar penuturan Andi dan jawaban ayahnya, terlihat air mata Ila mengalir deras.
***
5 tahun yang lalu, saat Ila berumur 14 tahun dan Andi berumur 11 tahun, ketika di desa Ila sedang ramai-ramainya anak-anak gadis memakai ikat rambut dan bandol unik berwarna-warni. Melihat teman-temannya semua memiliki itu, Ila pun ingin punya satu. Dan untuk itu, Ila mencuri uang Ayahnya. Dan ketika ayahnya tahu, bahwa ada anaknya yang mencuri uang dari lemarinya, ia pun memanggil anak-anaknya.
“Siapa di antara kalian yang mencuri uang Etta?” Tanya ayahnya geram.
Ila hanya bisa diam ketakutan melihat Ayahnya sangat marah. Ia belum pernah melihat ayahnya semarah itu.
“Saya tidak pernah mendidik anak-anak saya menjadi pencuri, sepahit apapun hidup kita, saya tidak pernah mentolerir yang namanya pencurian, jika kalian tidak mau mengakui, saya akan memukul kalian berdua.” Lanjut Ayahnya.
Tiba-tiba Andi berkata : “Maaf Etta, saya mencuri uang itu”.
Dan cambuk ayahpun menghujam keras di punggung andi. Dan Ila hanya bisa menangis melihat Andi di cambuk ayahnya. Di situ Andi tidak menangis bahkan tidak meringis sedikitpun.
Malamnya, di kamar Ila tidak bisa menghentikan tangisnya saat mengolesi minyak obat pada luka-luka memar bekas cambutan Ayah di punggung Andi. Dan Ila menangis sejadi-jadinya.
***
Dua tahun yang lalu, Andi ke kota menjenguk Ila di kosnya. Tapi Ila tidak ada di kamarnya, hingga Andi terpaksa duduk di pinggir jalan sebelah kosnya, dan menunggu Ila datang. Sorenya, ketika Ila pulang dari bimbingan belajar. Ia melihat Andi tertidur bersandar di batang pohon.
“Ndi, kenapa tidak masuk saja ke kos kakak.”
“Tidak usah kak, Andi di sini saja.”
“Kenapa?”
“Saya takut di lihat teman-teman kakak, nanti saya membuat malu kakak, karena kakak punya adik dengan pakaian saya lusuh dan kotor begini kak”
Sambil menangis sejadi-jadinya, Ila memeluk adiknya. “Bagaimanapun dirimu, kamu itu tetap adik kakak yang paling kakak sayangi.”

***
Semenjak Andi pertama kali datang ke kos Ila, setiap bulannya Andi datang membawakan uang buat biaya sekolah Ila. Uang itu dari hasil kerja keras Andi sebagai buruh bangunan. Dan setiap Andi datang, dalam hati Ila menangis melihat punggung Andi yang kelihatan bertambah hitam dan legam. Dan Ila hanya bisa berterima kasih pada adiknya.

****
Ketika liburan sekolah tiba, Ila menyempatkan diri pulang ke desanya yang berjarak 60 puluhan kilometer, dan bisa di capai dengan jalan kaki sejauh 15 Kilometer, karena belum ada transportasi yang bisa sampai ke kampungnya selain berkuda. Dan saat tiba di rumah, pekarangan dan rumah tampak bersih, kaca-kaca dirumah kelihatan mengkilap
“Bu, siapa yang membersihkan rumah sampai sebersih ini?”
“Itu Adikmu yang membersihkan rumah ini karena tahu kamu mau datang nak, sampai tangannya terluka saat terkena pecahan cermin”
Ila pun berlari ke kamar adiknya dan melihat adiknya tertidur, di tangannya terlihat terbalut kain berwarna merah bekas darah mengering.
Ila hanya bisa menangis menciumi adiknya.

****

Malam ini adalah malam perpisahan di sekolah Ila, semua siswa diharuskan membawa keluarganya, tapi ayah dan ibu Ila tidak bisa hadir, sehingga hanya Andi yang datang menemani ke acara perpisahan itu.
Pada saat Acara, sebagai lulusan terbaik, Ila beserta kelurganya di daulat untuk memberikan sepatah kata.
Dalam pidatonya, Ila menyampaikan bahwa ia bisa berhasil dalam sekolahnya karena kasih sayang keluarganya, terutama karena Adiknya yang rela untuk tidak bersekolah lalu bekerja mencari biaya tambahan dari ayahnya untuk menyelesaikan sekolah. Dan untuk itu, Ila menyampaikan rasa terima kasih berulang kali kepada Andi. Pada akhir pidato, Ila meminta Andi, untuk menggantikan Ayahnya berpidato.
Dalam Pidatonya, Andi berkata :
“ketika kami masih kanak-kanak, kami kemalaman saat pulang dari rumah keluarga di desa tetangga, karena malam terlalu dingin sedangkan saya tidak membawa jaket, maka kakak memberikan jaketnya untuk saya, sehingga tangan kakak gemetaran menahan dingin, saat tiba di rumah badan kakak membiru karena kedinginan. Semenjak itu saya bertekad untuk terus menjaga kakak saya.”
Ila tidak bisa mengingat lagi kapan kejadian itu, yang ia tahu, airnya matanya mengucur deras membasahi perasaannya.
“Terima kasih adikku tersayang, terima kasih Andi.”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar